Powered By Blogger

Senin, 03 Oktober 2011

Terjebak Skenarionya


( Tony Aspler )
David Dunlap duduk  bengong menatap gelas birnya, sambil berpikir- pikir dimana ia bisa tidur malam ini. Di ujung meja lain pelayan bar sedang mengiris lemon di atas talenan pualam. Aroma asam lemon yang tajam di sore yang hangat itu membuat David tambah lapar. Ia bisa melihat debu menari- nari di tengah cahaya matahari yang menembus jendela. Sementara gantungan kertas hiasan yang sudah luntur melambai ditiup kipas angin yang berputar perlahan di atas kepalanya. Di pojok ruangan layar TV menanyangkan sinetron drama percintaan yang sedang popular saat itu.
“ Punya kacang ? “
“ Punya, “ jawab pelayan bar tanpa menoleh. “ Sedolar 75 sen sebungkus. “
“ Nggak usah, deh !”
Beberapa detik kemudian pintu terbuka dan seorang pria berpakaian perlente masuk. Rambutnya yang kelabu lantaran banyak uban Nampak acak- acakan. David yang masih muda itu jadi teringat kepada Albert Einsteins. Cuma saja orang ini tidak berkumis dan kacamatanya berbingkai tebal.
Pria itu lalu duduk di bangku tinggi di ujung bar dan memesan segelas Crown Royal murni tanpa es. Pelayan bar menuangkan minuman dan menaruhnya di depan si pemesan. Dari dompet kulit buaya ia mengeluarkan selembar 20 dolaran. Sekilas David sempat melirik isinya. Tebal .
“ Kamu mau membiarkan saja birmu sepanjang hari ?” kata pelayan bar. David mengangkat bahu.
“ Kau bilang begitu ya, pada semua orang yang minum di sini ?”
Pelayan bar itu menggerutu lalu menghilang ke balik tirai yang terbuat dari untaian merjan. David mencibir kea rah punggungnya. Tiba- tiba ia sadar bahwa pria tadi sudah pindah ke bangku disebelahnya.
“ Maaf, anda kenal Wiski ?” Suara pria itu tinggi dan gugup. Jakunnya turun naik di lehernya kalau ia menelan.
“ Apa maksud anda ?” tanya David. Pria itu berbicara lebih perlahan.
“ Taruhan deh ! Wiski ini dia campur air. Saya bisa merasakannya. Coba, apa Anda juga merasakannya.”
David mengambil gelas itu, mengangkatnya ke arah lampu, lalu mengendusnya. Sambil mengangguk, pria itu menganjurkan untuk mencicipi. David menempelkan gelas ke bibirnya dan menelan seteguk.
“ Nggak tuh !”
“ Ah! Zaman sekarang mereka tidak bisa dipercaya. Boleh saya pesankan segelas lagi ?” kata pria itu seraya menunjuk gelas David yang sudah kosong.
“ Boleh, kenapa tidak ?” Kalau perlu ditambah sebungkus kacang.”
“ Siapa nama anda ?”
“ David.”
“ Saya Hector. Teman- teman memanggil saya Hec.”
Kelihatannya sih tidak seperti Heck, Hantu, pikir David. Lebih pantas kalau ia memakai nama yang bisa dipakai oleh laki- laki maupun perempuan seperti Beverley atau Robin.
“Kenapa pakai sarung tangan ?”
Pria itu tertawa malu. Jakunnya turun- naik seperti lift yang tak terkendali.
“ Saya menderita psoriasis. Menjijikan, jadi saya tutupi. Untung, kalau musim dingin hilang.”
Pelayan bar menaruh sebotol bir di depan David.
**********
Pria tersebut turun dari bangkunya. Cara memegang gelasnya seperti burung mencengkram mangsa. Jari- jarinya Cuma menempel mulut gelas seakan- akan takut benda itu menggigit. Ia berjalan ke sebuah bilik di pojok sambil memberi isyarat agar David mengikutinya.
David ragu- ragu sejenak, lalu ikut.
“ Saya bangga selama ini bisa tepat menilai orang, Bung. Walaupun kita baru ketemu, saya tahu anda bisa dipercaya.”
Ia melirik ke arah pelayan bar yang sedang menjauh.
“ Rasanya kita bisa saling menolong.”
“ Maksud anda ?”
“ Saya yakin Anda perlu uang. Betul ?”
David tertawa. “ Anda tidak usah jadi ahli nujum untuk mengetahuinya.”
“ Oke, saya sendiri juga sedang butuh uang, kata orang itu.
‘’ Tapi di mata saya sih, anda sangat makmur,” sela David.
“ Penampilan bisa mengecoh. Yang bisa saya maksudkan bukan beberapa ratus dolar, David.” Ia mencondongkan tubuhnya seraya berkata perlahan sementara matanya melotot seakan- akan tercekik kerah bajunya. “ Saya bicara tentang uang sebesar $ 100.000.  Masing- masing, buat Anda dan saya……..Nah, saya kira anda berminat.”
“ Apa yang harus saya lakukan ?”
Pria itu mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarkan sebatang. David menolak. Ia mengawasi pria itu dengan keheranan ketika si pria mengambil korek api dari asbak.
“ Tolong nyalakan, dong!  Susah nih pakai sarung tangan.”
Pria itu menunggu saat David menyalakan korek dengan tidak sabar. Ketika ia mencondongkan tubuhnya untuk menerima api, David bisa melihat bahwa pria itu mengenakan rias wajah. Ia mengisap rokoknya dalam- dalam dan menghela napas saat asap bergulung- gulung di atas kepalanya.
“ Nah!  Apa yang mesti saya lakukan ?” kejar David penasaran.
Pria itu memasukkan kotak korek api ke sakunya, melihat sekeliling bar lagi dan mengangkat tangannya yang bersarung ke sisi wajahnya untuk melindungi mulutnya dari pandangan orang lain.
“ Saya punya rumah peristirahatan di Utara. Diasuransikan tentu saja. Jika terbakar habis, saya bisa mendapat uang pengganti $ 200.000.”
“ Tentu rumah Anda sangat bagus.”
“ Ya.”
“ Kenapa anda tidak bakar sendiri saja? ‘Kan seluruh uangnya bisa buat anda.”
“ Jangan bicara keras- keras. Saya tidak mampu berbuat seperti itu. Kata dokter, psoriasis saya akan kambuh kalau lagi senewen. Jika saya melakukannya sendiri, bisa- bisa seluruh tubuh saya gatal- gatal. Selain itu, saya harus punya alibi yang tidak tergoyahkan.
“ Kenapa mesti saya ?”
“ Karena kita tidak saling mengenal. Tidak ada yang menyangkutpautkan kita.”
“ Apa yang harus saya lakukan ?”
“ Saya akan memberi Anda $ 200 untuk menyewa mobil. Pergilah dengan mobil itu ke Utara, dekat Gravenhurst dan membakar rumah peristirahatan saya di bagian utaranya, dapur. Tak ada orang yang bisa melihat anda dari danau atau jalan. Saya akan meninggalkan sebuah panggangan gas di sana. Nyalakan saja, putar sampai “high” dan miringkan agar menyandar ke dinding. Biarkan tutup panggangan terbuka.”
“ Kapan mesti dilakukan?”
“ Selasa depan. Rumah- rumah peristirahatan Cuma dihuni akhir minggu. Jadi, tidak ada orang di sana dan menurut ramalan cuaca tidak akan hujan.
**********
David menegakkan duduknya dan menatap pria itu.
“ Setelah itu apa yang akan Anda lakukan?”
“ Begitu saya mendengar dari dinas pemadam kebakaran bahwa rumah itu sudah musnah, uang kontan $ 5.000 menunggu anda di sebuah locker di Union Station. Kuncinya ditempel dengan plester di bawah westafel yang paling jauh dari pintu toilet pria di ruang bawah tanah tempat kereta ke Montreal berangkat.”
“ Kenapa kita tidak bertenu di sini saja ?”
“ Setelah pertemuan inti, kita jangan pernah bertemu lagi supaya terjadi kejahatan yang benar- benar sempurna.”
“ Bagaimana dengan yang $ 100.000?”
“ Kalau perusahaan asuransi mengirimkan cek, saya akan memasang iklan di Saturday Toronto Star mencari pemukul bisbol Mickey Mantle. Kalau anda membacanya, Anda tahu bahwa ada junci menunggu Anda di tempat yang sama. Uangnya ada di locker. Percaya saya, deh ! Tentu saja dipotong $ 5.000 yang sudah Anda terima . Pokoknya, begitu saya menerima cek, Anda mendapat setengahnya.”
“ Bagaimana  saya bisa mempercayai Anda ?”
“ David,” kata pria itu dengan lembut. “ Sayalah yang mesti mempercayai anda. Saya memberi Anda $ 200. Anda bisa pergi begitu saja dan menghilang. Tapi saya tahu Anda tidak akan melakukannya. Masih ada $ 5.000 kalau pekerjaan sudah dilaksanakan dan sisanya kalau saya sudah dibayar perusahaan asuransi. Coba pikirkan apa yang bisa anda lakukan dengan uang sebanyak itu.”
David berpikir dan memutuskan menerima tawaran pria itu.
“ Di mana rumah peristirahatan itu ?”
Pria itu mengeluarkan sebuah notes bersampul kulit dan merobek selembar kertas. Ia menyorongkan sebuah bolpen emas.
“ Tolong tulis.”
Ia menjelaskan jalan menuju ke rumah peristirahatan dan ciri- ciri rumah itu.
“ Kemudian mobil ke sisi depan dekat garasi terbuka. Nyalakan panggangan sekitar pukul 21.00 yaitu saat mulai gelap. Perlu diketahui pada musim panas, hari baru mulai gelap menjelang pukul 21.00 di daerah itu. Berarti Anda sudah harus meninggalkan kota menjelang pukul 19.00. Tak usah ngebut, agar tak mengundang kecurigaan polisi.
Pria itu mengeluarkan dompetnya dan dengan hati- hati mengeluarkan empat lembar uang lima puluhan dolar. Ia menyorongkan ke seberang meja sambil matanya menatap David.
“ Sesudah hari ini, kita tidak pernah bertemu lagi. Tapi anda akan kaya   $ 100.000 kalau menjalankan peran anda dengan baik… Sekarang silahkan pergi. Saya tidak mau kelihatan keluar dari sini bersama Anda.
David berdiri, mengangkat gelas dan meneguk birnya sampai habis dengan sekali tenggak.
“ Lumayan, dapat objekan.”
“ Percayalah pada saya,” tandas Hector.
**********
David merasa lega ketika rumah bungalow itu ternyata taralang dari jalan oleh pepohonan lebat. Ukurannya lebih besar dari dugaannya. Modern, semua kayu redwood , dan jendela- jendelanya dari kaca tebal.
Jantungnya berdebar keras ketika memarkir mobil sewaannya di jalan beraspal di halaman. Suara seekor burung air dari danau mengejutkannya. Ia berhenti dan mendengarkan dengan saksama, tetapi tidak ada bunyi lain, kecuali bunyi kecipak air danau yang menghantam galangan kayu.
Pelan- pelan ia keluar dari mobil dan berjalan mengelilingi rumah. Tidak ada orang. Tirai- tirai menutupi jendela. Kelihatannya rumah ini jarang ditempati. Tidak ada mobil lewat dan rumah- rumah peristirahatan sepanjang jalan tanah itu tampaknya tidak dihuni.
Ia berhasil menemukan panggangan daging di luar pintu dapur, persis seperti yang digambarkan Hec. Ia memutar kenopnya dan otomatis api pun menyala di bawah tumpukkan batubara. Dimiringkannya panggangan dan disandarkannya ke dinding berlapis kayu redwood. Ia mengunggu sambil melihat berkeliling dengan ketakutan, sementara panas api mulai menghitamkan kayu. Tiba- tiba potongan dinding yang menghitam menyemburkan api.
Ia mengawasi api menjalar ke atas. Warnanya berubah menjadi jingga dan kuning melahap setiap lapisan kayu. Setelah yakin, api melahap bangunan itu, David cepat- cepat kembali ke mobil dan meluncur ke jalan raya. Saat lampu lalu lintas menyala, David menoleh. Yang tampak cumin kepulan- kepulan asap di atas pohon- pohon pinus dan maple. Itu mengensankan seolah ada orang yang menyalakan api biasa di perapian.
Keesokan paginya David pergi ke toilet di ruang bawah tanah Union Station dan meraba- raba bagian bawah westafel yang paling jauh dari pintu. Namun tidak ada kunci. Ia mencari di semua westafel, tetap saja tidak ada kunci. Ia yakin itulah toilet di gerbong Montreal yang dimaksud. Ia membanting pintu sekeras- kerasnya sampai hamper copot. Sialan, serunya dalam hati. Ia ditipu mentah- mentah.
Namun, barangkali terlalu dini untuk menilai. Siapa tahu Hec tidak punya waktu untuk meninggalkan kunci. Akhirnya, David mencari Koran bekas di keranjang sampah dan membacanya sambil menunggu Hec datang.
**********
David menunggu sepanjang hari, tetapi orang yang dinantikan tak kunjung datang. Ia membaca setiap kata di Koran, termasuk berita bahwa sebuah rumah peristirahatan di utara Gravenhurst terbakar ludes sampai tanah. Kepala dinas pemadam kebakaran memperingatkan para pemilik bungalow agar panggangan daging mereka jangan dipasang terlalu dekat dinding. David tersenyum, meski kemudian kembali gusar.
Karena penasaran malam itu ia kembali ke bar dan bertanya kepada pelayan bar apakah pernah melihat pria yang beberapa hari lalu mentraktirnya.
“ Ingat, nggak? Orangnya aneh. Suaranya seperti bencong. Rambutnya segini. Pakai sarung tangan. Dia menuduh kamu mencampurkan air ke wiski.”
“ Mana aku ingat semua orang yang datang ke mari?”
Keesokan harinya David kembali ke Union Station, tetapi hasilnya nihil. Ia menyumpah- nyumpah. Kok, ia bisa sebodoh itu! Memang dia bisa menghemat $137 dengan menyewa mobil paling murah yang bisa dijumpainya. Seratus tiga puluh tujuh dolar memang lumayan, tapi bukan $ 100.000. Ia akan memberi Hec satu kesempatan lagi.
Tiga hari setelah kebakaran, ia kembali lagi ke toilet di lantai bawah tanah dekat gerbang Montreal. Ada beberapa orang berdiri di tempat buang air kecil. Terpaksa ia menunggu sambil pura- pura menyisir rambutnya. Ketika sudah sendirian, ia pergi ke westafel. Tangannya menyentuh plester dan sesuatu yang menonjol. Perlahan- lahan ia mencopot plester. Ternyata pada plester itu ada kunci locker.
David nyaris tak kuasa menahan kegembiraan. Namun ia mampu menahan diri dan berusaha tenang. “ Temukan locker. Jangan menarik perhatian. Tanpa disadari keringat mengalir dari ketiaknya saat berjalan menyusuri deretan locker dan memeriksa nomor. Akhirnya ia berhasil menemukan nomor yang cocok. Jari- jarinya gemetar saat mengeluarkan kunci dari sakunya. Ia menebarkan pandangan sekelilingnya, yang dilihatnya cuma para penumpang yang lalu- lalang, bergegas ke kereta masing- masing.
“ Bisa tolong saya, Nak?”
David terkejut mendengar suara yang muncul tiba- tiba di sebelahnya. Seorang pria tua Nampak bersusah payah mengangkat sebuah koper besar di sebuah locker di ketinggian kepala. David mengambil koper itu dan memasukkannya ke locker yang dimaksudkan. Pria itu memberinya sekeping uang dolar dan David terlalu terkesima untuk menolaknya.
Ia kembali ke locker dan membukanya. Sebuah travelling bag hijau berselempang kulit terongok di dalamnya. Hec menepati janjinya. David mengeluarkannya sesantai mungkin sambil menahan diri agar tidak tergoda melihat isinya.
Ia mencari tempat sepi yang jauh dari keramaian stasiun, supaya jari- jarinya bisa menikmati kenikmatan menyentuh $ 5.000. Ini baru permulaan. Setelah itu ia tinggal mengecek iklan di Saturday Star.
David keluar dari stasiun mencari tempat kosong dan sepi untuk bisa sendirian. Setelah berbelok ke kanan dan menyusuri Front Street ke arah St. Lawrence Market, ia berhenti di tempat parker terbuka. Di sana ada tangga ke bawah dan tembok untuk bersandar. Anak tangga baja berbunyi karena injakannya. Rasa panas dari logam itu terasa merambat lewat lubang- lubang di sepatunya. Sekarang ia bisa membeli selusin pasang sepatu jika ia mau.
Perlahan- lahan ia membuka ritsletting tas tersebut. Di dalamnya ada tas kulit yang dikerutkan dengan tali. Ia menguraikan simpul tali dan membukanya.
Isinya perhiasan. Penuh. Hec membayarnya dengan perhiasan ? Apa sih yang terjadi ?
Sebelum ia memasukkan kembali perhiasan itu ke dalam tasnya, dua orang pria menghampirinya dari belakang sebuah mobil yang diparkir. Seorang diantaranya mengeluarkan lencana.
“ Oke, Bung. Polisi. Mari ikut kami.”
**********
“ Berapa kali aku harus mengulanginya ? Orang itu membayarku untuk membakar habis rumah bungalownya. Aku sudah menjelaskan semua yang aku tahu.”
David memandang tangannya dengan rasa dipermalukan. Jari- jarinya masii bernoda tinta karena baru memberikan sidik jari. Para polisi saling melirik.
“ Cobaa ceritaka sekali lagi,”
David menghela napas. Kursi di kantor polisi yang ia duduki terasa menusuk pantannya. Bahkan meja pun seakan- akan menyerut sikunya. Kedua polisi itu duduk di depannya dengan membelakangi dinding. Yang seorang gendut dan yang seorang lagi kurus, tapi keduanya botak.
“ Katamu, kau ketemu orang ini di bar dan dia menjanjikan $ 100.000 kalau kamu membakar rumah peristirahatannya. Kau bilang namanya Hec atau Hector dan ia menderita penyakit kulit. Kau tidak tahu dimana dia tinggal atau tidak tahu bagaimana menghubunginya.”
“ Itu masalahnya.”
“ Bukan masalahnya, Bung,” kata si polisi kurus. “ Itu masahmu. Karena kami menuduhmu melakukan pembunuhan.”
“ Pembunuhan ? Itu tuduhan ngawur. Maksud anda pembakaran ?”
“ Pembunuhan ? Kalau juri melihat foto- foto mayat itu, kau bisa dijatuhi hukuman seumur hidup. Berapa kali kau memukul wanita itu ?”
“ Apa sih? Saya tidak memukul siapa- siapa!”
“ Tidak berjalan mulus seperti rencanamu, ‘kan, Bung? Kau ke sana untuk mencuri beberapa di bungalow. Kau mengambil apa yang bisa diambil. Sedikit perhiasan, uang mungkin. Tapi ada yang tak terduga. Wanita itu memergokinya. Jadi, kau gebuk kepalanya beberapa kali. Dengan apa ? Kunci Inggris ?  Linggis ?  Mungkin sudah kau buang ke danau.”
“ Sumpah ! Saya tidak pernah memukul orang. Saya Cuma menyalakan panggangan daging seperti yang dia suruh.”
David mulai menggigil. Kata- katanya membanjir seperti juga keringatnya.
“ Pasti Hector yang membunuhnya. Pasti dia sudah merencanakan segala sesuatu. Ia mencoba menimpakan kesalahan kepada saya. Ia menyuruh saya melaksanakan semuanya secara saksama. Di mana mesti menaruh panggangan. Itu saja yang saya ketahui, Pak ! Anda semestinya menangkap dia. Saya akan bisa mengenalinya. Rambutnya lebat dan memakai kacamata.”
“ Sudah,” kata si polisi gendut. “ Namanya Francis, bukan Hector. Tapi ia punya alibi yang kuat. Selama sembilan jam hari itu ia berada di tempat praktik dokter.”
“ Pasti itu untuk mengobati kulitnya, ‘kan? Apa saya bilang. Dia memakai sarung tangan karena sakit kulit.”
“ Boleh saja kau mencoba membela diri, Bung ! Dia ahli bedah dan dia sebotak aku. Dia tidak memakai kacamata.” David terhenyak di kursinya.
“ Jadi, bagaimana saya bisa mendapatkan tas itu?”
“ Itu ‘kan karena koncomu membawakan tas itudan menaruhnya di lockermu, lalu meninggalkan kunci di toilet pria supaya kau bisa mengambilnya. Rencana itu akan berjalan mulus kalau saja kau tak mengecohnya.”
“ Kau serakah dan mau memilikinya sendiri,” si polisi kurus menambahkannya. “ Temanmu Hec menghianatimu.”
“ Jadi anda berbicara dengan dia ?” tanya David  yang melihat secercah harapan.
“ Ya. Ia memberi tahu kami. Sayang, ia tidak memberi tahu nomor teleponnya. Untung, kami berhasil memergokinya dan cukuplah buat kami.”
“ Mana buktinya kalau betul saya pelakunya ?”
“ Sidik jarimu ditemukan banyak di pemanggang daging. Banyak !”
“ Kan bukan berarti saya pernah masuk ke rumah itu.”
“ Api itu aneh, Bung,” kata si kurus sambil membungkuk.
“ Kamu membunuh seseorang dan mencoba memusnahkan mayatnya. Hampir berhasil. Kecuali ini .”
Ia mengeluarkan sebuah kantung plastik bening dari sebuah tas dan mengangkatnya ke atas supaya David bisa melihat isinya. Di dalamnya ada sebuah gelas. David menatapnya. Sebuah gelas wiski seperti yang dijepit Hec dengan jari- jarinya yang bersarung tangan di bar.
“ Kami menemukan dekat mayat wanita itu. Benda ini tidak terbakar. Tadinya, kami pikir ia minum dari sana, tapi sidik jari yang ada di situ cuma milikmu. Rupanya kamu perlu bantuan segelas Crown Royal untuk memberaniikan dirimu ya, Bung?  Sayang, api tidak melalapnya. Kalau tidak, kejahatan akan menjadi kejahatan yang sempurna.”

( Diambil dari Intisari )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar