( Tony
Aspler )
David Dunlap duduk bengong menatap gelas birnya, sambil
berpikir- pikir dimana ia bisa tidur malam ini. Di ujung meja lain pelayan bar
sedang mengiris lemon di atas talenan pualam. Aroma asam lemon yang tajam di
sore yang hangat itu membuat David tambah lapar. Ia bisa melihat debu menari-
nari di tengah cahaya matahari yang menembus jendela. Sementara gantungan
kertas hiasan yang sudah luntur melambai ditiup kipas angin yang berputar
perlahan di atas kepalanya. Di pojok ruangan layar TV menanyangkan sinetron
drama percintaan yang sedang popular saat itu.
“ Punya kacang ? “
“ Punya, “ jawab pelayan bar tanpa
menoleh. “ Sedolar 75 sen sebungkus. “
“ Nggak usah, deh !”
Beberapa detik kemudian pintu
terbuka dan seorang pria berpakaian perlente masuk. Rambutnya yang kelabu
lantaran banyak uban Nampak acak- acakan. David yang masih muda itu jadi
teringat kepada Albert Einsteins. Cuma saja orang ini tidak berkumis dan
kacamatanya berbingkai tebal.
Pria itu lalu duduk di bangku
tinggi di ujung bar dan memesan segelas Crown Royal murni tanpa es. Pelayan bar
menuangkan minuman dan menaruhnya di depan si pemesan. Dari dompet kulit buaya
ia mengeluarkan selembar 20 dolaran. Sekilas David sempat melirik isinya. Tebal
.
“ Kamu mau membiarkan saja birmu
sepanjang hari ?” kata pelayan bar. David mengangkat bahu.
“ Kau bilang begitu ya, pada semua
orang yang minum di sini ?”
Pelayan bar itu menggerutu lalu
menghilang ke balik tirai yang terbuat dari untaian merjan. David mencibir kea
rah punggungnya. Tiba- tiba ia sadar bahwa pria tadi sudah pindah ke bangku
disebelahnya.
“ Maaf, anda kenal Wiski ?” Suara
pria itu tinggi dan gugup. Jakunnya turun naik di lehernya kalau ia menelan.
“ Apa maksud anda ?” tanya David.
Pria itu berbicara lebih perlahan.
“ Taruhan deh ! Wiski ini dia
campur air. Saya bisa merasakannya. Coba, apa Anda juga merasakannya.”
David mengambil gelas itu,
mengangkatnya ke arah lampu, lalu mengendusnya. Sambil mengangguk, pria itu
menganjurkan untuk mencicipi. David menempelkan gelas ke bibirnya dan menelan
seteguk.
“ Nggak tuh !”
“ Ah! Zaman sekarang mereka tidak
bisa dipercaya. Boleh saya pesankan segelas lagi ?” kata pria itu seraya
menunjuk gelas David yang sudah kosong.
“ Boleh, kenapa tidak ?” Kalau
perlu ditambah sebungkus kacang.”
“ Siapa nama anda ?”
“ David.”
“ Saya Hector. Teman- teman
memanggil saya Hec.”
Kelihatannya sih tidak seperti Heck,
Hantu, pikir David. Lebih pantas kalau ia memakai nama yang bisa dipakai oleh
laki- laki maupun perempuan seperti Beverley atau Robin.
“Kenapa pakai sarung tangan ?”
Pria itu tertawa malu. Jakunnya
turun- naik seperti lift yang tak terkendali.
“ Saya menderita psoriasis.
Menjijikan, jadi saya tutupi. Untung, kalau musim dingin hilang.”
Pelayan bar menaruh sebotol bir di
depan David.
**********
Pria tersebut turun dari bangkunya.
Cara memegang gelasnya seperti burung mencengkram mangsa. Jari- jarinya Cuma
menempel mulut gelas seakan- akan takut benda itu menggigit. Ia berjalan ke
sebuah bilik di pojok sambil memberi isyarat agar David mengikutinya.
David ragu- ragu sejenak, lalu
ikut.
“ Saya bangga selama ini bisa tepat
menilai orang, Bung. Walaupun kita baru ketemu, saya tahu anda bisa dipercaya.”
Ia melirik ke arah pelayan bar yang
sedang menjauh.
“ Rasanya kita bisa saling
menolong.”
“ Maksud anda ?”
“ Saya yakin Anda perlu uang. Betul
?”
David tertawa. “ Anda tidak usah
jadi ahli nujum untuk mengetahuinya.”
“ Oke, saya sendiri juga sedang
butuh uang, kata orang itu.
‘’ Tapi di mata saya sih, anda
sangat makmur,” sela David.
“ Penampilan bisa mengecoh. Yang
bisa saya maksudkan bukan beberapa ratus dolar, David.” Ia mencondongkan
tubuhnya seraya berkata perlahan sementara matanya melotot seakan- akan
tercekik kerah bajunya. “ Saya bicara tentang uang sebesar $ 100.000. Masing- masing, buat Anda dan saya……..Nah,
saya kira anda berminat.”
“ Apa yang harus saya lakukan ?”
Pria itu mengeluarkan sebungkus
rokok dan menawarkan sebatang. David menolak. Ia mengawasi pria itu dengan
keheranan ketika si pria mengambil korek api dari asbak.
“ Tolong nyalakan, dong! Susah nih pakai sarung tangan.”
Pria itu menunggu saat David
menyalakan korek dengan tidak sabar. Ketika ia mencondongkan tubuhnya untuk
menerima api, David bisa melihat bahwa pria itu mengenakan rias wajah. Ia
mengisap rokoknya dalam- dalam dan menghela napas saat asap bergulung- gulung
di atas kepalanya.
“ Nah! Apa yang mesti saya lakukan ?” kejar David
penasaran.
Pria itu memasukkan kotak korek api
ke sakunya, melihat sekeliling bar lagi dan mengangkat tangannya yang bersarung
ke sisi wajahnya untuk melindungi mulutnya dari pandangan orang lain.
“ Saya punya rumah peristirahatan
di Utara. Diasuransikan tentu saja. Jika terbakar habis, saya bisa mendapat
uang pengganti $ 200.000.”
“ Tentu rumah Anda sangat bagus.”
“ Ya.”
“ Kenapa anda tidak bakar sendiri
saja? ‘Kan seluruh uangnya bisa buat anda.”
“ Jangan bicara keras- keras. Saya
tidak mampu berbuat seperti itu. Kata dokter, psoriasis saya akan kambuh kalau
lagi senewen. Jika saya melakukannya sendiri, bisa- bisa seluruh tubuh saya gatal-
gatal. Selain itu, saya harus punya alibi yang tidak tergoyahkan.
“ Kenapa mesti saya ?”
“ Karena kita tidak saling
mengenal. Tidak ada yang menyangkutpautkan kita.”
“ Apa yang harus saya lakukan ?”
“ Saya akan memberi Anda $ 200 untuk menyewa mobil. Pergilah
dengan mobil itu ke Utara, dekat Gravenhurst dan membakar rumah peristirahatan
saya di bagian utaranya, dapur. Tak ada orang yang bisa melihat anda dari danau
atau jalan. Saya akan meninggalkan sebuah panggangan gas di sana. Nyalakan
saja, putar sampai “high” dan
miringkan agar menyandar ke dinding. Biarkan tutup panggangan terbuka.”
“ Kapan mesti dilakukan?”
“ Selasa depan. Rumah- rumah
peristirahatan Cuma dihuni akhir minggu. Jadi, tidak ada orang di sana dan
menurut ramalan cuaca tidak akan hujan.
**********
David menegakkan duduknya dan
menatap pria itu.
“ Setelah itu apa yang akan Anda
lakukan?”
“ Begitu saya mendengar dari dinas
pemadam kebakaran bahwa rumah itu sudah musnah, uang kontan $ 5.000 menunggu anda di sebuah locker di Union Station. Kuncinya
ditempel dengan plester di bawah westafel yang paling jauh dari pintu toilet
pria di ruang bawah tanah tempat kereta ke Montreal berangkat.”
“ Kenapa kita tidak bertenu di sini
saja ?”
“ Setelah pertemuan inti, kita jangan
pernah bertemu lagi supaya terjadi kejahatan yang benar- benar sempurna.”
“ Bagaimana dengan yang $ 100.000?”
“ Kalau perusahaan asuransi
mengirimkan cek, saya akan memasang iklan di Saturday Toronto Star mencari pemukul bisbol Mickey Mantle. Kalau
anda membacanya, Anda tahu bahwa ada junci menunggu Anda di tempat yang sama.
Uangnya ada di locker. Percaya saya,
deh ! Tentu saja dipotong $ 5.000 yang
sudah Anda terima . Pokoknya, begitu saya menerima cek, Anda mendapat
setengahnya.”
“ Bagaimana saya bisa mempercayai Anda ?”
“ David,” kata pria itu dengan
lembut. “ Sayalah yang mesti mempercayai anda. Saya memberi Anda $ 200. Anda bisa pergi begitu saja
dan menghilang. Tapi saya tahu Anda tidak akan melakukannya. Masih ada $ 5.000 kalau pekerjaan sudah dilaksanakan
dan sisanya kalau saya sudah dibayar perusahaan asuransi. Coba pikirkan apa
yang bisa anda lakukan dengan uang sebanyak itu.”
David berpikir dan memutuskan
menerima tawaran pria itu.
“ Di mana rumah peristirahatan itu
?”
Pria itu mengeluarkan sebuah notes
bersampul kulit dan merobek selembar kertas. Ia menyorongkan sebuah bolpen
emas.
“ Tolong tulis.”
Ia menjelaskan jalan menuju ke
rumah peristirahatan dan ciri- ciri rumah itu.
“ Kemudian mobil ke sisi depan
dekat garasi terbuka. Nyalakan panggangan sekitar pukul 21.00 yaitu saat mulai
gelap. Perlu diketahui pada musim panas, hari baru mulai gelap menjelang pukul
21.00 di daerah itu. Berarti Anda sudah harus meninggalkan kota menjelang pukul
19.00. Tak usah ngebut, agar tak mengundang kecurigaan polisi.
Pria itu mengeluarkan dompetnya dan
dengan hati- hati mengeluarkan empat lembar uang lima puluhan dolar. Ia
menyorongkan ke seberang meja sambil matanya menatap David.
“ Sesudah hari ini, kita tidak
pernah bertemu lagi. Tapi anda akan kaya
$ 100.000
kalau menjalankan peran anda dengan baik… Sekarang silahkan pergi. Saya tidak
mau kelihatan keluar dari sini bersama Anda.
David berdiri, mengangkat gelas dan
meneguk birnya sampai habis dengan sekali tenggak.
“ Lumayan, dapat objekan.”
“ Percayalah pada saya,” tandas
Hector.
**********
David merasa lega ketika rumah
bungalow itu ternyata taralang dari jalan oleh pepohonan lebat. Ukurannya lebih
besar dari dugaannya. Modern, semua kayu redwood
, dan jendela- jendelanya dari kaca tebal.
Jantungnya berdebar keras ketika
memarkir mobil sewaannya di jalan beraspal di halaman. Suara seekor burung air
dari danau mengejutkannya. Ia berhenti dan mendengarkan dengan saksama, tetapi
tidak ada bunyi lain, kecuali bunyi kecipak air danau yang menghantam galangan
kayu.
Pelan- pelan ia keluar dari mobil
dan berjalan mengelilingi rumah. Tidak ada orang. Tirai- tirai menutupi
jendela. Kelihatannya rumah ini jarang ditempati. Tidak ada mobil lewat dan
rumah- rumah peristirahatan sepanjang jalan tanah itu tampaknya tidak dihuni.
Ia berhasil menemukan panggangan daging
di luar pintu dapur, persis seperti yang digambarkan Hec. Ia memutar kenopnya
dan otomatis api pun menyala di bawah tumpukkan batubara. Dimiringkannya
panggangan dan disandarkannya ke dinding berlapis kayu redwood. Ia mengunggu sambil melihat berkeliling dengan ketakutan,
sementara panas api mulai menghitamkan kayu. Tiba- tiba potongan dinding yang
menghitam menyemburkan api.
Ia mengawasi api menjalar ke atas.
Warnanya berubah menjadi jingga dan kuning melahap setiap lapisan kayu. Setelah
yakin, api melahap bangunan itu, David cepat- cepat kembali ke mobil dan
meluncur ke jalan raya. Saat lampu lalu lintas menyala, David menoleh. Yang
tampak cumin kepulan- kepulan asap di atas pohon- pohon pinus dan maple. Itu mengensankan seolah ada orang
yang menyalakan api biasa di perapian.
Keesokan paginya David pergi ke
toilet di ruang bawah tanah Union Station dan meraba- raba bagian bawah
westafel yang paling jauh dari pintu. Namun tidak ada kunci. Ia mencari di semua
westafel, tetap saja tidak ada kunci. Ia yakin itulah toilet di gerbong
Montreal yang dimaksud. Ia membanting pintu sekeras- kerasnya sampai hamper
copot. Sialan, serunya dalam hati. Ia ditipu mentah- mentah.
Namun, barangkali terlalu dini
untuk menilai. Siapa tahu Hec tidak punya waktu untuk meninggalkan kunci.
Akhirnya, David mencari Koran bekas di keranjang sampah dan membacanya sambil
menunggu Hec datang.
**********
David menunggu sepanjang hari,
tetapi orang yang dinantikan tak kunjung datang. Ia membaca setiap kata di
Koran, termasuk berita bahwa sebuah rumah peristirahatan di utara Gravenhurst
terbakar ludes sampai tanah. Kepala dinas pemadam kebakaran memperingatkan para
pemilik bungalow agar panggangan daging mereka jangan dipasang terlalu dekat dinding.
David tersenyum, meski kemudian kembali gusar.
Karena penasaran malam itu ia
kembali ke bar dan bertanya kepada pelayan bar apakah pernah melihat pria yang
beberapa hari lalu mentraktirnya.
“ Ingat, nggak? Orangnya aneh.
Suaranya seperti bencong. Rambutnya segini. Pakai sarung tangan. Dia menuduh
kamu mencampurkan air ke wiski.”
“ Mana aku ingat semua orang yang
datang ke mari?”
Keesokan harinya David kembali ke
Union Station, tetapi hasilnya nihil. Ia menyumpah- nyumpah. Kok, ia bisa
sebodoh itu! Memang dia bisa menghemat $137 dengan menyewa mobil paling
murah yang bisa dijumpainya. Seratus tiga puluh tujuh dolar memang lumayan,
tapi bukan $ 100.000.
Ia akan memberi Hec satu kesempatan lagi.
Tiga hari setelah kebakaran, ia
kembali lagi ke toilet di lantai bawah tanah dekat gerbang Montreal. Ada
beberapa orang berdiri di tempat buang air kecil. Terpaksa ia menunggu sambil
pura- pura menyisir rambutnya. Ketika sudah sendirian, ia pergi ke westafel.
Tangannya menyentuh plester dan sesuatu yang menonjol. Perlahan- lahan ia
mencopot plester. Ternyata pada plester itu ada kunci locker.
David nyaris tak kuasa menahan
kegembiraan. Namun ia mampu menahan diri dan berusaha tenang. “ Temukan locker. Jangan menarik perhatian. Tanpa
disadari keringat mengalir dari ketiaknya saat berjalan menyusuri deretan locker dan memeriksa nomor. Akhirnya ia
berhasil menemukan nomor yang cocok. Jari- jarinya gemetar saat mengeluarkan
kunci dari sakunya. Ia menebarkan pandangan sekelilingnya, yang dilihatnya cuma
para penumpang yang lalu- lalang, bergegas ke kereta masing- masing.
“ Bisa tolong saya, Nak?”
David terkejut mendengar suara yang
muncul tiba- tiba di sebelahnya. Seorang pria tua Nampak bersusah payah
mengangkat sebuah koper besar di sebuah locker
di ketinggian kepala. David mengambil koper itu dan memasukkannya ke locker yang dimaksudkan. Pria itu
memberinya sekeping uang dolar dan David terlalu terkesima untuk menolaknya.
Ia kembali ke locker dan
membukanya. Sebuah travelling bag
hijau berselempang kulit terongok di dalamnya. Hec menepati janjinya. David
mengeluarkannya sesantai mungkin sambil menahan diri agar tidak tergoda melihat
isinya.
Ia mencari tempat sepi yang jauh
dari keramaian stasiun, supaya jari- jarinya bisa menikmati kenikmatan
menyentuh $ 5.000. Ini
baru permulaan. Setelah itu ia tinggal mengecek iklan di Saturday Star.
David keluar dari stasiun mencari
tempat kosong dan sepi untuk bisa sendirian. Setelah berbelok ke kanan dan
menyusuri Front Street ke arah St. Lawrence Market, ia berhenti di tempat parker
terbuka. Di sana ada tangga ke bawah dan tembok untuk bersandar. Anak tangga
baja berbunyi karena injakannya. Rasa panas dari logam itu terasa merambat
lewat lubang- lubang di sepatunya. Sekarang ia bisa membeli selusin pasang
sepatu jika ia mau.
Perlahan- lahan ia membuka
ritsletting tas tersebut. Di dalamnya ada tas kulit yang dikerutkan dengan
tali. Ia menguraikan simpul tali dan membukanya.
Isinya perhiasan. Penuh. Hec
membayarnya dengan perhiasan ? Apa sih yang terjadi ?
Sebelum ia memasukkan kembali
perhiasan itu ke dalam tasnya, dua orang pria menghampirinya dari belakang
sebuah mobil yang diparkir. Seorang diantaranya mengeluarkan lencana.
“ Oke, Bung. Polisi. Mari ikut
kami.”
**********
“ Berapa kali aku harus
mengulanginya ? Orang itu membayarku untuk membakar habis rumah bungalownya.
Aku sudah menjelaskan semua yang aku tahu.”
David memandang tangannya dengan
rasa dipermalukan. Jari- jarinya masii bernoda tinta karena baru memberikan
sidik jari. Para polisi saling melirik.
“ Cobaa ceritaka sekali lagi,”
David menghela napas. Kursi di
kantor polisi yang ia duduki terasa menusuk pantannya. Bahkan meja pun seakan-
akan menyerut sikunya. Kedua polisi itu duduk di depannya dengan membelakangi
dinding. Yang seorang gendut dan yang seorang lagi kurus, tapi keduanya botak.
“ Katamu, kau ketemu orang ini di
bar dan dia menjanjikan $ 100.000
kalau kamu membakar rumah peristirahatannya. Kau bilang namanya Hec atau Hector
dan ia menderita penyakit kulit. Kau tidak tahu dimana dia tinggal atau tidak
tahu bagaimana menghubunginya.”
“ Itu masalahnya.”
“ Bukan masalahnya, Bung,” kata si
polisi kurus. “ Itu masahmu. Karena kami menuduhmu melakukan pembunuhan.”
“ Pembunuhan ? Itu tuduhan ngawur.
Maksud anda pembakaran ?”
“ Pembunuhan ? Kalau juri melihat
foto- foto mayat itu, kau bisa dijatuhi hukuman seumur hidup. Berapa kali kau
memukul wanita itu ?”
“ Apa sih? Saya tidak memukul
siapa- siapa!”
“ Tidak berjalan mulus seperti
rencanamu, ‘kan, Bung? Kau ke sana untuk mencuri beberapa di bungalow. Kau
mengambil apa yang bisa diambil. Sedikit perhiasan, uang mungkin. Tapi ada yang
tak terduga. Wanita itu memergokinya. Jadi, kau gebuk kepalanya beberapa kali.
Dengan apa ? Kunci Inggris ? Linggis ? Mungkin sudah kau buang ke danau.”
“ Sumpah ! Saya tidak pernah
memukul orang. Saya Cuma menyalakan panggangan daging seperti yang dia suruh.”
David mulai menggigil. Kata-
katanya membanjir seperti juga keringatnya.
“ Pasti Hector yang membunuhnya.
Pasti dia sudah merencanakan segala sesuatu. Ia mencoba menimpakan kesalahan
kepada saya. Ia menyuruh saya melaksanakan semuanya secara saksama. Di mana
mesti menaruh panggangan. Itu saja yang saya ketahui, Pak ! Anda semestinya
menangkap dia. Saya akan bisa mengenalinya. Rambutnya lebat dan memakai
kacamata.”
“ Sudah,” kata si polisi gendut. “
Namanya Francis, bukan Hector. Tapi ia punya alibi yang kuat. Selama sembilan
jam hari itu ia berada di tempat praktik dokter.”
“ Pasti itu untuk mengobati
kulitnya, ‘kan? Apa saya bilang. Dia memakai sarung tangan karena sakit kulit.”
“ Boleh saja kau mencoba membela
diri, Bung ! Dia ahli bedah dan dia sebotak aku. Dia tidak memakai kacamata.”
David terhenyak di kursinya.
“ Jadi, bagaimana saya bisa
mendapatkan tas itu?”
“ Itu ‘kan karena koncomu
membawakan tas itudan menaruhnya di lockermu, lalu meninggalkan kunci di toilet
pria supaya kau bisa mengambilnya. Rencana itu akan berjalan mulus kalau saja
kau tak mengecohnya.”
“ Kau serakah dan mau memilikinya
sendiri,” si polisi kurus menambahkannya. “ Temanmu Hec menghianatimu.”
“ Jadi anda berbicara dengan dia ?”
tanya David yang melihat secercah
harapan.
“ Ya. Ia memberi tahu kami. Sayang,
ia tidak memberi tahu nomor teleponnya. Untung, kami berhasil memergokinya dan
cukuplah buat kami.”
“ Mana buktinya kalau betul saya
pelakunya ?”
“ Sidik jarimu ditemukan banyak di
pemanggang daging. Banyak !”
“ Kan bukan berarti saya pernah
masuk ke rumah itu.”
“ Api itu aneh, Bung,” kata si
kurus sambil membungkuk.
“ Kamu membunuh seseorang dan
mencoba memusnahkan mayatnya. Hampir berhasil. Kecuali ini .”
Ia mengeluarkan sebuah kantung
plastik bening dari sebuah tas dan mengangkatnya ke atas supaya David bisa
melihat isinya. Di dalamnya ada sebuah gelas. David menatapnya. Sebuah gelas
wiski seperti yang dijepit Hec dengan jari- jarinya yang bersarung tangan di
bar.
“ Kami menemukan dekat mayat wanita
itu. Benda ini tidak terbakar. Tadinya, kami pikir ia minum dari sana, tapi
sidik jari yang ada di situ cuma milikmu. Rupanya kamu perlu bantuan segelas
Crown Royal untuk memberaniikan dirimu ya, Bung? Sayang, api tidak melalapnya. Kalau tidak,
kejahatan akan menjadi kejahatan yang sempurna.”
( Diambil dari Intisari )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar