Powered By Blogger

Senin, 03 Oktober 2011

Teori Pembunuhan Oleh dr. Quincy


( Kisah nyata Tery Manners )

Siang itu, cuaca di Blountstown, Florida tampak cerah. Seperti lazimnya, Februari menjadi bulan yang banyak diisi warga setempat dengan memancing di sungai – sungai terdekat. Kota kecil yang berjarak sekitar 50 km dari Tallahasee ini, saat itu ( 1980 ) hanya dimukimi ribuan orang saja. Christine Falling, seorang babysitter muda, tampak asyik menjaga anak asuhnya, Cassidy Marie Johnson       (2 tahun ) di sebuah pondok serbakayu milik pasangan Linda Faye dan Billy Johnson.
Dasar anak kecil, selang beberapa jam sejak kepergian orangtuanya Cassidy mulai rewel. ‘’ Anak nakal, bisa diam atau tidak ?’’ bentak Christine yang mulai naik pitam. Namun, bentakan wanita berusia 19 tahun itu justru disambut Cassidy dengan tangisan lebih keras.
Christine tak hanya naik pitam, tapi juga panik. Kontan ia memindahkan tubuh mungil Cassidy ke kamar belakang dan mengunci pintunya. Aha, berhasil ! Tangisan gadis kecil itu mereda, bahkan tak terdengar lagi. Sebagai pengasuh bayi, ia merasa tugasnya selesai sudah.
**********
Ketika Linda dan Billy tiba di rumah, suami istri itu menjumpai bayi mereka dalam kondisi tergolek lesu, tak bergairah. Ketika bayi mereka terlihat tak seperti biasanya, keduanya mulai khawatir. Jangan – jangan, Cassidy sakit. Ditemani Christine, Linda dan Billy kemudian melarikan Cassidy ke klinik dokter terdekat. Hati Linda dan Billy bak dilanda tsunami, begitu dokter memeriksa menyataka anak mereka menderita radang otak.
‘’ Namun, tetap tak tertutup kemungkinan Cassidy meninggal karena sebab – sebab eksternal. Saya melihat, ada semacam benturan dan memar di kepalanya. ‘’ jelas sang dokter.
Linda dan Billy hanya bisa diam. Mereka tidak tahu lagi, langkah apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan Cassidy.
‘’ Oh ya. Saya ingat, Dokter. Dua jam sebelumnya, Cassidy sempat terjatuh dari boks. Saat itu kepalanya membentur lantai, ‘’ tutur Christine lancer.
Dokter tampak mengerutkan keningnya kemudian memanggut – manggut. Saat membuat surat pengantar ke Rumah Sakit Tallahasse, ia sempat menyisipkan catatan kecil, yang isinya meragukan pengakuan Christine. Sayangnya catatan itu belakangan hilang misterius. Dua hari setelah dirawat di R.S. Tallahasse, kondisi Cassidy tak kunjung membaik. Di hari ketiga, Cassidy malah menghembuskan napas terakhir.
Saat melakukan otopsi, dr. Jerry Harris dari R.S. Tallahasse tak menemukan bukti adanya radang otak. Ia hanya melakukan memar pada jaringan tengkorak dan tulang, yang bisa saja datang dari bekas pukulan di kepala. Namun tak ada saksi mata yang bisa membuktikan, kematian Cassidy memang benar karena pukulan, bukan radang otak atau terjatuh. Kasusnya menguap begitu saja.
Mencurigai Christine? No way !. Menjadi pengasuh anak sudah menjadi pilihan hidup perempuan muda itu. Terutama setelah dokter menyatakan ia mandul. Ia juga dikenal di lingkungan tempat tinggalnya sebagai penyuka anak – anak. Linda dan Billy bahkan mengaku sangat menyukai Christine, karena ia bisa diandalkan tidak hanya dalam mengurus rumah tangga, tapi juga dalam mengurus balita.
Christine begitu  cekatan saat menggendong, memberi makan, atau mengganti popok. Ia pun terlihat sabar menghadapi perubahan mood anak.
**********
Sejak kejadian itu, Christine meninggalkan Blountstown. Ia berusaha menghilangkan trauma kematian Cassidy, dengan berpindah- pindah tempat, menggunakan mobil rumah dari Perry ke Lakeland dan sebaliknya. Jiwanya tampak lebih tenag stelah itu, sampai akhirnya ia tergoda kembali untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan panggilan jiwanya , mengasuh balita.
Bak gayung bersambut, ia ditawari pekerjaan mengasuh Jeffrey Davis      ( 4 tahun ), anak seorang kerabat jauh. Christine sebenarnya lebih suka mengasuh anak perempuan. ‘’ Anak perempuan bisa didandani macam – macam. Pakaiannya pun lebih bervariasi, ‘’ katanya suatu kali. Namun ketika ditawari mengasuh balita lelaki oleh kerabatnya, Christine tak menolak.
Waktu berkalan normal. Sampai suatu hari, orang tua Jeffrey keluar rumah untuk mencari dan mengumpulkan cacing. Kerabat Christine itu, sekali waktu memang suka mengumpulkan cacing untuk  dijual kepada para pemancing lokal. Lumayan, buat biaya tambahan membeli bumbu dapur. Bagai disambar petir di siang bolong, betapa terkejutnya mereka katika sampai di rumah, mendapati putra tersayang telah terbujur kaku, tak bernyawa.
Dengan gugup, Christine menceritakan kejadian yang menimpa Jeffrey.. ‘’ Mulanya saya kira ia sedang tidur siang. Namun setelah saya amati dari dekat, tubuhnya ternyata sudah tak bernapas lagi, ‘’ ujar Christine. Dokter yang  memeriksa Jeffrey menduga, bocah itu meninggal akibat myocarditis, penyakit yang disebabkan oleh peradangan dinding otot jantung.
Ajaibnya, tiga hari setelah meninggalnya Jeffrey, Christine kembali ditawari tugas menjaga balita. Kali ini anak sepupunya yang baru belajar jalan, Joseph Spring. Saat itu, orang tua Joseph merasa kerepotan, karena harus menghadiri pemakaman Jeffrey. Jadi mereka menitipkan balita dan rumah mereka pada Christine. Lagi – lagi, kehjadian memilukan itu berulang. Saat pulang, orangtua Joseph mendapati anaknya telah menjadi mayat.
“ Saya baru saja menidurkan menjelang siang. Tiba – tiba tanpa sebab, saya dengar ia berteriak keras. Saya lalu menghampiri, tapi ai sudah berhenti bernapas. Kejadiannya sama seperti Jeffrey, tapi Joseph sempat berteriak terlebih dahulu,, sebelum akhirnya meninggal, ‘’ cerita Christine. Seperti kasus Jeffrey,meninggalnya Joseph diduga juga akibat myocarditis,yang kemungkinan ditularkan oleh manusia.
Tiga nyawa balita sudah melayang di bawah asuhan Christine. Televisi lokal pun mulai tertarik meyiarkan kematian misterius ini. Opini masyarakat terbelah antara mereka yang menganggap Christine sebagai pembunuh balita, dengan mereka yang menganggap wanita belia itu sebagai korban kematian yang serba kebetulan. Maklum, fakta di lapangan membuktikan, tak ada bukti- bukti yang mengarah langsung, apalagi memberatkan Christine.
Christine sendiri merasa terbebani dengan kejadian ini. “ Mereka memandang saya dengan pandangan aneh dan menakutkan. Saya juga mendengar mereka berbisik tentang saya, “ keluh perempuan bertubuh gemuk itu. “ Christ bahkan sempat mencoba membunuh diri, dengan memotong urat nadinya dan menengak pil, karena merasa tak sanggup lagi menghadapi tekanan masyarakat, “ ungkap seorang kerabat.
“ Saya sungguh ngeri melihat anak – anak itu mati. Mungkin saya menularkan semacam penyakit mematikan. Dokter mestinya bisa menemukan penyakit itu, “ ujar wanita yang menikah pada usia 15 tahun ini. Christ merasa, kematian tiga balita itu membuat “karirnya” sebagai babysitter tamat!
**********
Apalagi sebagian media massa mulai rajin mengungkapkan masa lalu Christine yang kelam. Ia memang tumbuh dalam kemiskinan, kerapuhan, dan kepedihan. Ibu kandungya, Ann menikahi Tom Slaughter yang berusia 65 tahun, ketika usianya baru menginjak 16 tahun. Tujuh anak kemudian lahir selama periode perkawinan itu. Namun, Tom hanya mau mengakui satu anak laki – laki yang meninggal tak lama setelah lahir.
Tom beralasan, Ann punya kebiasaan menghilang di akhir pecan dan suka berhubungan dengan banyak lelaki. Akibatnya, ayah kandung anak – anak Ann yang lain menjadi tidak jelas. Dalam kondisi keluarga tak menentu seperti itulah, pada usia empat tahun, Christine diaadopsi petani kayu Jesse Falling. Sejak saat itulah, kehidupan Christine mulai stabil, meski tetap saja tidak menemukan kebahagiaan.
Sayangnya, keluarga Falling bangkrut saat Christine baru berusia tujuh tahun. Terpaksa, di usia semuda itu, ia dilibatkan dalam beragam pekerjaan di peternakan ayam, membantu keluarga mencari sesuap nasi.
Istri Jesse, Dolly sangat ketat menerapkan disiplin. Christine pun jadi bandel di luar rumah. Bersama kelompok mainnya, mereka pernah membantai kucing, hanya untuk membuktikan binatang itu tidak punya sembilan nyawa, seperti yang digembar – gemborkan pendeta di gereja. Christine sendiri merayu, membelai- belai, kemudian membanting kucing- kucing malang itu. Disebut kucing – kucing, karena kegiatan biadab itu akhirnya menjadi acara rutin kelompok mereka saban Sabtu malam.
Ibu angkat Christine kerap menjadi sumber cerita yang menarik, seputar keanehan anak perempuannya itu. “ Saat main kejar- kejaran dengan anak – anak tetangga, dia begitu emosional, seperti hendak menerkam dan menggantung teman- temannya,” bilang Dolly. Untuk mengajar sopan santun, kadang Dolly menggunakan kekerasan. Tak Cuma dengan tangan, Dolly bahkan sering menggunakan tongkat untuk memukul Christine.
Sepenjang hidupnya, Christine selalu dihantui mimpi- mimpi buruk. Ia juga sempat menderita gagap dan epilepsy. Suatu hari, Jesse dan Dolly bertengkar hebat, sehingga Christine terpaksa diungsikan ke sebuah rumah singgah anak, yang terletak di Great Oak, sekitar 320 km dari Orlando. Di tempat itu, ia menetap selama setahun, menjadi bintang dan memimpin kelompok anak- anak kumuh. Di tempat itu, Christine menjadi semakin liar dan sering kepergok mencuri. Ia juga kerap menjadi penyulut keonaran.
“ Saya menikmatinya, karena itu salah satu cara untuk meminta perhatian, “ ucapnya enteng. Disiplin kelewat ketat yang diberlakukan Doly membuat Christine menjadi muak. Saking muaknya, ia pernah melarikan diri dari rumah. Pada usia 12 tahun, ia kembali pada ibu kandungnya, Ann di Blountstown. Christine menikah dengan Bobby Joe Adkins ( 20 tahun ) pada September 1997, tapi hanya bertahan dua bulan. Selama itu, dua kali hamil, dua kali pula keguguran.
Setelah itu Christine berpindah – pindah dari Miami, Tampa, Matiana, Perry, Blountstown, Lakelanda, sampai pada Steinhatchie. Ia pernah juga mampir di Georgia, West Virginia, Ohio, dan Colorado. Namun, ia tak pernah betah di satu tempat. Penyebabnya, ia merasa tak menemukan kehangatan suasana rumah. Akhirnya, ia hanya bergerak dari trailer ke motel, motel ke trailer, begitu seterusnya.
Dengan masa lalu sesuram itu, wajar kalau media massa akhirnya membuat berita- berita yang condong memojokkan Christine. Meski begitu, banyak orang yang tetap membelanya, dan percaya kalau Christ hanyalah korban orangtua yang tak becus mekaga kesehatan anak- anaknya. “ Tak ada bukti kejahatan Christ. Ia Cuma martir. Mestinya kita tak memojokkan dia hanya karena masa lalunya, “ suara mereka senada seirama.
**********
Para kerabat Christine, meski tengah berduka, juga berusaha menghibur wanita malang itu. Sebagian mereka menyarankan Christ tak lagi menjadi pengasuh bayi, agar tak terus ditimpa kesialan. Christine bahkan mengikuti saran dokter yang memintanya mengikuti serangkaan tes, untuk memastikan apakah di dalam tubuhnya terdapat virus mematikan. Namun, pemeriksaan laboratorium itu tak menemukan virus apapun.
Di pihak lain, tekanan masyarakat semakin kuat. Anak – anak muda Blountstown misalnya, sampai membuat permainan yang diambil dari kisah Christine, judulnya bogeywoman ( hantu perempuan gentayangan ). Untuk menghilangkan stress, Christine akhirnya menerima tawaran menjadi pembantu rumah tangga di kediaman William Swindle ( 77 tahun ), pria tua yang tinggal dekat Perry.
Namun, masyarakat kembali gempar. Swindle ditemukan meninggal secara tragis, hanya beberapa jam setelah mempekerjakan Christ. Mayatnya tergeletak di lantai dapur. Christ menemukannya ketika hendak pulang. Mayat Swindle tidak diautopsi , karena jantungnya diketahui bermasalah, selain mengidap kanker. Keluarga Swindle pun menganggap kematian lansia itu disebabkan oleh faktor usia.
Nasib “ sial “ tak juga pergi, ketika Christine dipercaya mengasuh Jennifer Daniel ( 8 bulan ), anak dari saudara tirinya, Geneva Daniels. Jennifer meninggal di mobil saat dijaga Christine, tak lama setelah divaksinasi. Ibunya yang keluar sebentar dari mobil untuk belanja di sebuah swalayan untuk membeli popok, karuan kaget bukan kepalang. Lagi- lagi hasil autopsi tak berhasil menemukan bukti – bukti mencurigakan.
Setelah itu, Christine melengkapi “ kesialannya” dengan menjadi pengasuh Travis ( 19 minggu ), anak Lisa Coleman ( 19 tahun ) yang tengah menderita pneumonia. Lisa mengaku tahu track record  Christine, tapi tak percaya perempuan belia itu tega membunuh bayi. Makanya ketika kondisi Travis mulai membaik, Lisa berani meninggalkan putranya di rumah bersama Christine. Sampai akhirnya, kenyataan pahit itu datang juga. Suatu pagi, Travis dijumpai sudah tak bernyawa.
Kematian lima bayi, membuat nama Christine kembali mencuat. Tekanan datang jauh lebih berat daripada sebelumnya. Kepada beberapa orang, Christ bahkan sempat menyatakan niat mengakhiri hidupnya yang tak punya tujuan dan harapan. Christine sempat lalu menganggap dirinya sebagai korban roda kehidupan dan menolak bertanggung jawab atas kematian satu manula dan lima balita yang diasuhnya dalam dua tahun terakhir. “ Saya sendiri tak tahu apa yang terjadi, tapi orang – orang masih saja menyalahkan saya. Mengapa ?”
**********
Ya, mengapa ? Pertanyaan it uterus mengahantui dr. Joseph Sapala, ahli patologi forensik asal Michigan. Sapala punya nama beken dr. Quincy, karena ia penggemar serial TV yang dibintangi Jack Klugman itu. Tak heran kalau perilaku  Sapala mirip tokoh fiktif itu. Ia membiasakan dirinya berpikir melawan bila melihat suatu kasus. Kematian alami sekalipun, bagi dr. Quincy selalu menyimpan peluang pembunuhan.
Sapala bahkan membentuk tim khusus untuk melakukan serangkaian tes atau jaringan yang diambil dari tubuh korban terakhir, Travis. Sapala membuktikan, Travis sempat kehabisan oksigen, hal yang membuatnya mati lemas. Selama autopsy Travis, Sapala juga menemukan adanya saraf yang pecah, yang mengindikasikan bocah itu telah dicekik. Pelan tapi pasti, tim ahli yang dibentuk Sapala menguak fakta di balik kematian Cassidy Johnson, Jennifer Daniels dan Travis Coleman.
Berdasarkan bukti- bukti penganiayaan yang didapat dr. Quincy, penegak hokum mulai melirik keterlibatan Christine Falling. Sherrif Blountstown, Budy Smith menjadi orang pertama yang mendengar pengakuan mengagetkan sang babysitter .Tampaknya, memang tak ada lagi tempat bersembunyi buat tersangka pembunuhan bayi dan manula itu.
“ Kami jadi tahu, ternyata sangat mudah membunuh balita tanpa meninggalkan jejak, “ tegas pengacara Jerry Blair, yang membawa Christine ke meja hijau. “ Anak- anak dapat dengan mudah dibunuh dengan hanya menekan arteri tertentu di leher. Tanda itu akan menghilang tak lama setelah kematiannya, “ imbuh Blair.
Di kantor sheriff, Budy tampak ditemani sejumlah penyidik.
“ Mengapa kamu melakukan semua ini, Christ ?” tanya seorang penyidik.
“ Saya sendiri tidak mengerti mengapa saya melakukannya. “
“ Oke kalau begitu. Langsung saja, apa yang telah kamu perbuat terhadap Cassidy Johnson ? “
 Christine diam sejenak.
“ Bayi perempuan itu susah sekali diam. Jadi, saya cekik sampai timbul warna ungu di lehernya. Sampai ia sama sekali tak bernapas, “ jawabnya tanpa ekspresi.
“ Bagaimana dengan Jeffrey Davis ?”
“ Ia yang salah dan membuat saya naik darah. “
“ Lalu Jennifer Daniels ?”
“ Tangisnya berkepanjangan. Sekali menangis tak pernah berhenti. Saya tekan arteri di lehernya. “
“ Lantas, apa alas an kamu mencekik Travis Coleman ?”
Christine tersenyum.
“ Saya cekik dia tanpa alasan apapun. “
Christine kemudian bercerita, betapa ia sangat terpengaruh oleh tayangan- tayangan kriminal di televise, dan cara mudah membunuh tanpa jejak. Ia menyebut teknik pembunuhan yang dilakukannya sebagai teknik menekan tanpa bekas.
“ Saya menikmatinya. Sederhana tapi tak mudah. Dengan  tekaselimut saya tutupi wajah mereka. Saat itu terdengar suara- suara untuk segera membunuhnya. Datang beruntun, dengan lembut, dan kian jelas hingga saya sadar apa yang telah saya lakukan terhadap mereka. “ lanjut Christine.
“ Waktu kecil, saya tak pernah memiliki baju- baju cantik. Apalagi saat tinggal bersama ayah, “ kisah Christ. Tak heran kalau kebencian datang mentergap, membakar relung hatinya yang paling dalam, ketika menyaksikan ayah atau ibunya dan anak yang diasuhnya berasyik masyuk dalam kasih sayang.  “ Saya seperti merasa kepedihan yang teramat dalam. Ingin rasanya segera memutus ikatan itu.” Belakangan, ia juga mengaku tak betah mendengar suara balita.
“ Hanya ada satu cara menghentikannya. Ya itu tadi, “ bilangnya enteng.
Pengakuan – pengakuan Christine kadang memang tak terduga. Misalnya ia mengaku sangat menikamti dua tahun terakhir saat membunuh lima balita. Terutama ketika menyaksikan dokter bekerja pontang - panting memastikan apa yang telah terjadi. Yang lebih mengejutkan, ia masih ingin menjadi pengasuh bayi, sekeluar penjara nanti. Meski tenntu saja, diragukan apakah ia masih dipercaya ibu- ibu.
Ketika persidangan digelar, pembawaan Christine tetap tak berubah. Ia tampak sangat tenang. Begitu tenangnya, sehingga hanya bersuara sebatas berkata “ Ya “ atau “ Tidak “ untuk menjawab pertanyaan hakim. Itu pun terdengar berbisik. Suatu hati dibalik jeruji, ia membaca pengakuannya di kantor Sherif Budy Smith.
Dibacanya dengan tenang seluruh artikel, kemudian berkomentar,          “ Mereka mengambil keuntungan dari saya, seolah- olah saya benar- benar pembunuh. Padahal, saya mengaku bersalah karena tak punya harapan lagi. Saya sengaja membiarkan kesempatan hidup saya berlalu begitu saja.”  Ya, termasuk kesempatan mewujudkan panggilan jiwanya menjadi babysitter yang andal.

( diambil dari Intisari )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar