Jam
angkutan umum
jurusan Passo- Ambon menunjukkan pukul 07.40 waktu di kotaku. Aku mulai
gelisah.Duduk ku tak tenang , tetapi pandanganku tetap tertuju pada jam digital
kecil yang dipasang disamping kemudi mobil angkutan. Terbayang di pikiranku,
apa yang akan dilakukan guru terhadapku. Pasti aku akan dimarahi atau mungkin
aku akan disuruh berdiri di pojok depan kelas, bahkan aku mungkin akan
dikeluarkan. Kegelisahanku semakin bertambah tatkala mobil angkutan umum
berwarna biru yang kutumpangi semakin lambat menyusuri jembatan yang baru
dibangun.
Aku
mencoba membuang pikiran itu, dan mencoba berpikir lebih optimis. “Mungkin saja
pelajaran pertama belum dimulai “ pikirku sejenak. Maklum saja, langit dikotaku
begitu suram. Hujan deras turun berhari- hari. Kotaku seperti ditutupi hawa
dingin, yang mampu membuat bulu roma merinding. Di dalam tas sekolahku,
kumasukkan payung dan sendal jepit. Sebagai persiapan jika nanti turun hujan.
Sudah beberapa hari ini sekolahku sering kebanjiran jika hujan yang turun
sangat besar.
Angkutan
umum yang kutumpangi berhenti di sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri. Sekolah
ini terletak di depan jalan Wolter Monginsidi, Lateri. Selain itu sekolah
negeri ini mempunyai halaman yang asri, hijau dan luas. Sekolah ini adalah SMA
Negeri 5 Ambon, tempat di mana aku menimba ilmu. Di Lateri sendiri, ada 3 buah
sekolah. Yaitu SMA Negeri 5 Ambon, SMA Negeri 4 Ambon yang letaknya tepat di
samping kiri belakang SMA 5 Ambon dan SMK Negeri 6 ambon yang berada tepat
dibelakang SMA Negeri 4 Ambon. Sekolahku adalah sekolah yang sangat terkenal di
Kotaku. Itu semua karena Sekolahku mendapat gelar Sekolah Model.
Dengan
dihantui rasa takut, aku pun berlari menuju kelasku. Sambil berlari aku
mengingat jadwal pelajaran hari ini. “ Kesenian, Matematika, Bahasa Inggris “
pikirku sejenak. Kulewati Pos jaga di depan sekolah. “ Yah ampun … hari ini
hari jagaku…” aku berbicara dalam hati. Pos jaga kosong, karena para pengurus
OSIS mungkin sudah masuk duluan. Aku adalah pengurus OSIS seksi
bidang V,di sekolahku. Aku benar – benar merasa tidak bertanggung jawab.
Langkahku kuteruskan melewati Ruang Pusat Sumber Belajar, Laboratorium Bahasa,
dan depan perpustakaan.
Langkahku
terhenti di depan perpustakaan. Ku buka tas samping hitamku dan mencari buku
Paket Matematika karangan Kartini, penerbit Intan Pariwara yang kupinjam dua
hari yang lalu. “ Catatan Seni, Buku Pr Matematika, catatan Bahasa Inggris, Pr
Bahasa Inggris, dan Majalah KARTINI berwarna abu- abu dengan model di depan
sampul yaitu Nana Mirdad “ kataku sambil terus mencari buku Matemtika itu. “
Dasar Pelupa !!! “ aku mulai marah pada diriku sendiri. Aku terus meneruskan
langkahku.
Sambil
berlari- lari kecil, kulewati ruang guru, mushola, ruang kelas Sepuluh Satu
yang begitu bersih dan rapi. Di dinding - dinding kelas terpampang
foto para sastrawan seperti Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisyahbana dan
W.S.Hendra. Jika jam Bahasa Indonesia kami selalu pergi ke kelas ini. Maklum, kelas
Sepuluh satu adalah Ruang Bahasa Indonesia I. Kulewati Kelas Sepuluh Dua
yang adalah ruang Sosiologi I, dan berada tepat di samping kelas Sepuluh
Satu. Dan akhirnya sampailah aku di Kelas sepuluh tiga yang tak lain adalah
kelasku sendiri. Ruangnya besar dan merupakan ruang Bahasa Inggris I.
Kegelisahanku
semakin menjadi – jadi, saat kupandang pintu ruang kelasku tertutup. Tak
kedengaran suara apapun. Itu artinya ada Guru yang sudah masuk.
“
Pasti Guru seni sudah masuk.Hari ini kan jam pertama ,Seni. Matilah aku.”
kataku dalam hati. Aku berhenti sejenak , sambil mencoba untuk menenangkan hati
dan pikiranku yang sudah dari tadi bergejolak, dengan harapan
menghilangkan napasku yang sedikit terengah – engah karena panik, gelisah dan
takut. Pelan – pelan kuraih tangan pintu kelasku, yang terbuat dari Stainless
Stell. Pintu kubuka perlahan namun pasti. Pintu kelas yang berwarna merah
tua itu pun mengeluarkan sedikit suara, yang semakin membuat hatiku semakin
bergelonjak.
“
Selamat pagi ibu. “ salamku pada Mentor kelas yang sudah ada lebih dahulu
dariku. Aku pun mulai bingung mengapa bukannya Guru Seni yang ada di dalam
kelas. Ternyata Mentor sedang mengingatkan teman – temanku agar menuntaskan
tugas – tugas di tiap Guru Mata pelajaran. Menurutnya tanggal 30 Mei nanti,
sudah diadakan Ulangan Semester 2.
**********
Dengan
menggunakan isyarat tangan, Mentor pun menyuruhku berdiri di pojok depan kelas.
Aku sangat malu, hanya aku yang terlambat hari ini. Setelah mengisyaratkanku,
mentor pun melanjutkan menasihati teman – teman sekelasku. Kupandangi teman –
temanku satu persatu. Enci, teman sekelasku yang selalu duduk di deret pertama.
Dia hanya senyam - senyum melihatku. Aku jadi semakin bertambah malu.
Ocha, yang duduk di belakang Enci pun tak jauh berbeda dengan Enci. Ocha adalah
saudara sepupuku.
Kulanjutkan
memandangi mereka. Sekarang malah aku yang senyam - senyum kecil, ketika
kupandangi , Etes , teman lelaki sekelasku yang kuanggap sangat lucu. Tak kuat
menahan rasa lucu, aku pun mengalihkan pandanganku dari Etes. Aku pun terus
melanjutkan memandangi teman – temanku. Pandanganku terhenti saat melihat
dua buah tempat duduk kosong di pojok kiri belakang kelas. Kedua tempat duduk
kosong itu adalah tempat dudukku bersama teman baikku, Yani.
**********
Yani
orangnya sedikit cerewet, namun malu – malu. Semenjak ayahnya ditugaskan
menjadi Ketua Klasis di Buru, pulau yang lebih besar dari pulau Ambon, ia
memilih untuk tinggal bersama kakak sulungnya yang sudah berkeluarga. Ia adalah
anak bungsu dari 4 bersaudara. Kakaknya yang kedua dan ketiga kuliah di luar
kota. Mereka sering berkumpul saat libur sekolah bulan Juli atau libur Natal
bulan Desember nanti.Kami berdua mempunyai hobi yang sama yaitu menyanyi.
Lagu yang sering kami nyanyikan adalah “ Everything I Have” yang dinyanyikan oleh Clay Aiken, juara American Idol dan lagu berjudul “My Love “ yang dinyanyikan oleh Band
Musik Inggris asal Irlandia, Westlife.
Mungkin karena kami mempunyai hobi yang sama, itulah sebabnya mengapa kami
sangat akrab, kompak dan selalu bersama – sama.
**********
Aku
terkejut saat mataku menabrak seorang gadis dengan postur tubuh yang tidak
terlalu tinggi, berambut lurus pendek sebahu kemerah – merahan yang diikat
tinggi dengan ikat rambut berwarna merah muda, berpakaian batik SMA Negeri 5 AMBON
khas berwarna hijau terang dan dipesan di Sragen, kacamata bertangkai merah
muda , tas samping kuning bermerek Police
Line yang akhir – akhir ini sangat terkenal di kotaku, dan berkaus kaki
putih bersih tinggi. Ia adalah Yani, teman baikku di dalam kelas.
Belum
sempat ia mengucapkan salam, mentor menghentikan pembicaraannya seraya kembali
menyuruhnya berdiri di sampingku dengan kembali menggunakan isyarat tangan.
Yani jarang terlambat, namun kali ini keterlambatannya membuat hatiku sedikit
tenang, karena aku tidak akan dimarahi sendiri.
“
Kok kamu bisa terlambat..?” bisikku pelan pada Yani, takut terdengar oleh
mentor yang sedang menasehati teman- temanku dengan serius.
“
Aku terlambat bangun, semalam aku menonton film FTV di SCTV. Ceritanya sangat
menarik, dan seru sehingga aku tidak bisa melewatkan jalan ceritanya
sedikitpun. “ jawab Yani menanggapi pertanyaanku.
“
Hah…. Kok kita sama. Aku pun begitu. Semalam aku juga menonton film itu.”
Jawabku seakan tak percaya, ketika ku tahu bahwa kami sama – sama terlambat
gara – gara menonton film sampai larut malam. Kami pun tertawa kecil. Sikap
kami membuat teman- teman memandangi kami berdua, sambil senyam- senyum.
Kami pun menjadi bahan tontonan sebagian besar teman – teman sekelas.
Untungnya, mentor yang sedang serius menasehati tidak melihat tingkah kami
berdua.
Kami
berdua saling berpandangan, dan tertunduk malu. Raut muka kami kemerah-
merahan, karena tak sanggup menatap 20-an pasang bola mata. Setelah lama
berdiri di pojok depan kelas, kami pun diperintahkan untuk duduk. Kali ini
mentor kembali menggunakan isyarat tangan. Lega rasanya dapat lolos dari
cubitan atau marahan yang sejak dari tadi kukhawatirkan. Kami pun menuju
tempat duduk kami , di pojok kiri belakang kelas. Sebelum duduk seperti biasa kubersihkan
tempat dudukku, yang mungkin saja ada debunya. Setelah itu aku pun berdoa dan
disusul dengan Yani, karena dia masih sibuk menyapa teman – teman wanita.
Tak lama, mentor pun keluar dari kelas , setelah kami memberi salam yang
dipandu oleh ketua kelas kami, Meno. Dia sangat periang, dan tidak malu – malu.
Pantas saja, dia diangkat oleh kakak kelas dulu saat mengikuti MOS, untuk
menjadi ketua kelompok kami , yang diberi nama oleh pantia penerimaan siswa
baru yaitu PUBLISHER. Setelah MOS, kami pun diputuskan untuk menjadi kelas
Sepuluh Tiga.
Kukeluarkan
majalah KARTINI, majalah khusus wanita yang kubawa dari rumah. Majalah itu
milik ibuku yang tadi pagi sengaja kuambil dari rak majalah dan Koran – Koran
di ruang keluarga. Kehidupan kami dapat dikatakan bercukupan. Ayahku bekerja di
Kapal Cepat Jurusan Tulehu – Masohi. Dan Ibuku adalah seorang guru di salah
satu SMP Suli di kabupaten Maluku Tengah.
**********
Kubuka
halaman 107 yang memuat tentang Astrologi atau ilmu perbintangan dan peramalan.
Sambil terus mendengar ocehan Yani tentang tugas – tugasnya yang belum tuntas,
aku terus melanjutkan membolak – balik halaman majalah. Yani memang selalu
cerewet untuk mengomentari sesuatu yang selalu dianggap tak beres olehnya.
Alhasil aku hanya menjadi pendengar setia dari ocehan Yani.
“
Yapzz… ini dia yang aku cari” kataku yang sempat mengangetkan Yani, sambil
menunjuk halaman Astrologi. Kucari zodiakku
yang bergambar Kambing bertanduk panjang dan berasal dari gunung , Capricornus. Dengan teliti kubaca ramalan
astrlogi untuk orang yang berzodiak Capricornus seperti aku, yang terlahir
tanggal 14 Januari 1996, sekitar 15 tahun silam.
“Capricornus
( 21 desember – 19 januari ). Ada kegembiraan yang baru saja anda alami
pertengahan bulan ini.Kegiatan yang dirintis mulai beberapa waktu lalu
membuahkan hasil manis, sekalipun kecil. Satu hal, jangan remehkan persoalan.
Perlu lebih ramah agar hubungan menjadi lebih luwes. “ bacaku dengan
teliti sambil senyum sendiri.
“
Kebahagian apanya….tadi pagi saja aku mendapat malu, dan kesakitan gara – gara
dihukum.” komentarku memprotes ramalan astrologi yang kuanggap salah dan
keliru.
“
DASAR……. Ramalan Bohongan…..” tertawaku sambil terus membolak balik
halaman majalahku. Yani pun ikut tertawa sambil terus mamandangiku.
“
Pinjam majalahnya yah… aku ingin membaca ramalan zodiakku.” Rengek manja Yani
sambil menarik majalahku.Yani adalah seorang gadis berzodiak AQUARIUS,
bergambar air yang tumpah dari dalam guci. Setelah mengambil majalah yani pun
membaca ramalannya.
Sejenak
Yani pun membacanya dengan teliti. Ian pun tertawa dengan tawa khasnya. Menurut
ramalan zodiaknya, ia akan mendapat kebahagiaan dalam waktu dekat. ‘’ Jangan
terlalu percaya pada ramalan “ kataku pada Yani.
“
Tenang saja, ini Cuma untuk hiburan saja kok ….!!” yani berusaha meyakinkanku
sambil tersenyum kecil.
Bel
listrik berbunyi, pertanda jam pelajaran pertama dan kedua telah usai. Kami
sekelas menuju kelas Sepuluh Delapan yang berhadapan dengan ruang kelas kami.
Kelas Sepuluh Delapan adalah Ruang Matematika I. Sambil menuju ruang
matematika, kami bercanda kecil, mengingat kejadian sewaktu dihukum tadi.
“
Coba saja kita tidak tidur sampai larut malam, pasti tadi kita tidak akan
dihukum “ sesalku sambil terus meneruskan langkah.
“
Aku juga begitu, andai saja semalam aku tidak menonton film, sampai kemalaman “
ungkap Yani menanggapi pembiacaraanku.
Memasuki
Ruang Matematika, kami masih tetap bersama. Guru Matematika pun masuk ke kelas,
dan meminta catatan Satuan Radian yang ditugaskan seminggu yang lalu. Aku
kembali panik, begitupun Yani. Tadi pagi, aku lupa membawa buku catatan
matematika, karena buru – buru dan takut terlambat. Untungnya kami masih diberi
kesempatan untuk mengumpulkan catatan senin pagi, sebelum pelajaran pertama
dimulai.
‘’Terlambat
itu membuat masalah’’ gumamku, sambil memandangi Yani. Dia hanya tertawa kecil,
sembari mengikat rambut merahnya yang sudah berantakan dan membersihkan lensa
kacamatanya dengan tissue.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar